Selayang Pandang Persoalan Agama dan Negara

Oleh: Alamsyahruddin Pasaribu

Dewasa ini yang menjadi tantangan umat beragama adalah sekitar isu-isu kemodernan, salah satu yang banyak dibincangkan adalah hubungan agama dengan negara. Persoalan ini mungkin sangat penting dan mendesak untuk dibicarakan, khususnya bagi umat Islam yang oleh Cak Nur dikatakan sedang menghadapi paradoks yang merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak adanya. Artinya, isu kemodrenan ini tidak dapat ditolak karena tuntutan manusia modren yang lebih terbuka.

Isu modern mengenai hubugan agama dengan negara bukanlah sebuah perdebatan yang baru; perdebatan ini dapat ditelusuri sampai ke zaman Reformasi, sebagaimana doktrin Luther tentang dua buah kerajaan, bahkan persoalan ini dapat dilacak sampai ke zaman orang Kristen paling awal. Dalam pembicaraan ini, agama tidak terelakkan mengikuti kecenderungan eskatologis (keinsafan makna hidup tentang soal-soal kebahagiaan dan kesengsaraan yang bersifat rohani). Malah terjadi ketegangan eskatologis yang dapat membentuk corak tentang bagaimanakah kedudukan atau sikap agama terhadap negara.

… continue reading this entry.

Orientasi Pluralisme Dalam Beragama

(Tanggapan Terhadap Tulisan Alamsyahruddin Pasaribu Tentang “Pluralisme: Membangun Sikap Beragama Dalam Kerukunan Umat Beragam)Jarik Sumut

Oleh: Ari Kurniawan

Sekarang kita memasuku era modern, diman segala persoalan manusia menjasi lebih komplek. Agama secara normative dan ideal ialah untuk mewujudkan perdamaian bagi kemanusiaan. namun ketika agama ditilik dari historisnya penuh dengan konflik, kebencian, pertikaian dan kekerasan seperti terdapat pada tulisan Kausar Azhari Noer dengan tema ”Menampilkan Agama Berwajah Ramah” menjadi refleksi kita bersama bahwa agama dijadikan legitimasi untuk sebagaian kelompok yang mengatasnamakan agama yang dianutnya untuk menghancurkan atau bahkan “menghilangkan” eksistensi agama yang tidak sesua dengan yang dipercayainya. Disini tidak dijelaskan secara rinci dari berbagai peperangan atau konflik yang terjadi dulu dan sekarang tetapi ingin mencari jalan tengah dan titik temu atau meminjam istilah Cak Nur dengan “Kalimat Sawa” dari agama-agama dunia (islam, Kristen, yahudi, Hindu dan lain-lain) untuk bisa berkaca bagi masa depan agama masing-masing.

dalam tulisan Alamsyahruddin memang ingin memberikan wacana bahwa claim of truth and salvation adalah tidak mutlak milik sebagian agama (islam). Bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk berfikir dan bertindak atau menurut Huston Smith bahwa keengganan manusia untuk menerima kebenaran dari yang lain adalah karena sikpa menutup diri yang ditimbulkan dari refleksi agnostic atau keengganan untuk tahu tentang kebenaran yang diperkirakan justru akan lebih tinggi nilainya dari apa yang sudah ada pada kita (lihat “Sudirman Tebba, KKP Paramadina “Orientasi Sufistik Cak Nur). Walaupun tekadang agak sulit tapi kita harus bisa membuka diri untuk menerima kebenaran dari agama lain.

… continue reading this entry.

Pluralisme: Membangun Sikap Beragama Dalam Kerukunan Umat Beragama

(Sebuah Masukan Terhadap Tulisan Saudara Alamsyahruddin Pasaribu)JarIK Sumut

Oleh: Rudi Hartono

Tulisan ini sengaja saya tujukan kepada saudara Alamsyahruddin Pasaribu yang cukup semangat dan brilian dalam tulisannya mengenai “Pluralisme: Membangun Sikap Beragama Dalam Kerukunan Umat Beragama”. Dimana dalam tulisan beliau mencoba membahas sebuah konsep Pluralisme yang kiranya dapat menumbuhkan sikap beragama dalam kerukunan umat beragama.

Sebenarnya berbicara tentang konsep pluralisme, sama halnya membicarakan tentang sebuah konsep ‘kemajemukan atau keberagaman”, dimana jikalau kita kembali pada arti pluralisme itu sendiri bahwasanya pluralisme itu merupakan suatu “kondisi masyarakat yang majemuk”. (Lihat Budy Munawar Rahcman dalam Islam Pluralisme). Kemajemukan disini dapat berarti kemajemukan dalam beragama, sosial dan budaya. namun yang sering menjadi issu terhangat berada pada kemajemukan beragama. Pada prinsipnya, konsep pluralisme ini timbul setelah adanya konsep toleransi. jadi ketika setiap individu mengaplikasikan konsep toleransi terhadap individu lainnya maka lahirlah pluralisme itu. Maka pertanyaan yang timbul sebagai bias dari statement diatas adalah apakah masyarakat telebih khusus yang ada di Negara Indonesia ini sudah menerapkan konsep toleransi dan konsep Pluralisme yang merata?

… continue reading this entry.

Aliran Jubir

Medan (sumatera utara), tepatnya di Belawan muncul aliran baru yang disebut dengan Aliran Jubir. Disebut Jubir karena pemimpin aliran ini namanya Jubir. Menurut informasi, jumlah pengikut aliran tersebut mencapai 40 orang. Aliran ini sudah berkembang sekitar dua tahun dan berpusat di Kelurahan Bagan Deli, tepatnya dipinggir jalan menuju UTPK (Unit Terminal Peti Kemas) Pelabuhan Belawan. Markas kelompok itu terbuat dari triplek dan berwarna hijau. Saat ini pondok itu diberi police line.

… continue reading this entry.

Umat Islam Yang “Aneh”

Apa yang sedang terjadi di dalam diri umat islam Indonesia, akhir-akhir ini umat islam kembali digoncangkan oleh kalangannya sendiri, yang katanya sesat dan menyesatkan. Sehingga MUI bersama kawan-kawannya memperjuangkan apa yang mereka yakini bahwa yang dianggap mereka sesat pasti akan selalu sesat tidak ada ruang bagi mereka yang lain untuk mentransferkan dan mengimplementasikan ajarannya terhadap kehidupan individu dan masyarakat. Itulah salah satu keanehan umat islam.

Kedua, masalah Tuhan, Tuhan kalau kita artikan banyak definisinya. Menurut si A dan si B, berbeda mendefinisikan Tuhan, apa itu Tuhan, bagaimana itu Tuhan dan sebagainya. Nah, umat islam kalau Tuhan dalam definisi berbeda mereka terus mengatakan bahwa dia telah keluar dari islam, padahal sama-sama islam, tetapi kok bertengkar masalah Tuhan, apakah Tuhan menjadi masalah bagi manusia atau manusia yang mempermasalahkan Tuhan. Bukan itu yang ingin saya sampaikan. Yang ingin saya katakan bahwa manusia atau umat islam mencoba-coba mendefinisikan Tuhan, mengetahui kehendak Tuhan, mengerti Tuhan (sesat dan menyesatkan), seolah-olah Tuhan itu telah dikukungnya di dalam benaknya, Tuhan didalam ruangannya dan didalam waktunya, kapan dia berkeinginan maka sudah waktu dan tempatnya dia mengatakan sesat atau kafir. Apakah seperti itu, saya tidak tahu.

… continue reading this entry.

Dawam Rahardjo: demi Toleransi dan Pluralisme

Oleh
Saidiman

Prof Dr Dawam Rahardjo genap berusia 65 tahun pada 20 April 2007. Ulang tahun itu dirayakan oleh kawan-kawan dan murid-muridnya pada tanggal 4 Mei 2007 di Auditorium Universitas Paramadina. Mas Dawam (panggilan akrabnya) adalah satu dari beberapa intelektual muslim awal (sejak tahun 1960-an) yang sangat intens memperjuangkan ide-ide kebebasan dan pluralisme di Indonesia.
Beberapa yang lain adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Djohan Effendi. Sementara yang lain telah lebih dulu meninggal, seperti Nurcholish Madjid dan Ahmad Wahib.
Mereka inilah yang bisa disebut sebagai pembuka jalan bagi gagasan kebebasan dan pluralisme yang sekarang banyak berkembang di kalangan pemikir-pemikir muda Islam. Para pemikir yang sezaman dengan mereka juga banyak yang telah mengusung gagasan itu, namun fokus bahasan mereka tidak dalam konteks keislaman, terutama dalam tataran normatif-teologis, tetapi pada aspek yang lebih umum terkait dengan persoalan kebangsaan.
Pada perayaan ulang tahun itu juga sekaligus diluncurkan sebuah buku, Demi Toleransi, Demi Pluralisme, yang berisi kumpulan tulisan 31 tokoh yang berasal dari kalangan intelektual, pe77tinggi partai, agamawan, aktivis LSM, dan lain-lain yang semuanya adalah teman dan murid Dawam.
Beragam tema dan latar belakang penulisnya memperlihatkan betapa Dawam merambah beragam isu sepanjang karier intelektualnya. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada ini tidak hanya mahir menganalisa ekonomi, tapi juga sangat piawai bicara Islam, pluralisme, sosiologi, antropologi, filsafat, sastra, feminisme, studi perdamaian, dan lain-lain. Dawam bahkan bisa disebut sebagai perintis perkembangan beberapa teori ilmu sosial di Indonesia, seperti memperkenalkan teori dependensia dan studi perdamaian.

… continue reading this entry.

RENUNGAN: MENGAPA DAN UNTUK APA?

Berawal dari pernyataan seorang teman yang mengatakan bahwa segala sesuatu dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan. Tapi menurut saya tidak semua hal dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan, mungkin karena keterbatasan akal manusia. Contohnya tentang kehidupan disyurga. Katanya syurgalah tempat kehidupan kekal. Namun kita tidak tahu bagaimana kehidupan kita disyurga apakah kita tetap melaksanakan sholat atau tidak, sebab bukankah didalam al-qur’an dijelaskan bahwa manusia diciptakan untuk menyembah Tuhan? Jika disyurga nanti kita tidak mau sholat, bagaimana? Apakah amal perbuatan kita disyurga nanti akan diperhitungkan?

            Contoh lain adalah tentang Tuhan. Kita bias membuktikan adanya Tuhan yaitu lewat penciptan-Nya. Namun, timbul pertanyaan dibenak saya: mengapa mengapa ada dan untuk apa ada Tuhan? Sampai saat ini, saya belum menemukan jawabannya. Jika tidak ada penciptaan-Nya apakah Tuhan tetap ada? Beberapa orang yang telah saya Tanya menjawab bahwa: walaupun tidak ada yang diciptakan Tuhan, Tuhan tetap ada. Lalu saya bertanya lagi, jika Tuhan ada walaupun tanpa penciptaan maka mengapa ada Tuhan atau untuk apa ada Tuhan?

SALAHKAH AKU

di sore hari
langit yang mendung
dingin, menusuk tulang-tulangku
di dalam lamunan ku
aku tersentakkan
dengan suara lirih
penuh dengan kesesalan
dan kepedihan
aku yang tak memiliki apa-apa
aku hanya memiliki sebongkah kebodohan
yang menutupi otak ku
… continue reading this entry.

SEBUAH RENUNGAN IMPIAN

Dalam perjalanan ku
entah apa yang ku jalani
Dalam kehidupan ku
hidup tanpa tujuan
Dalam pencarian ku
sungguh sangat melelahkan
aku seperti mencari
sebuah kebenaran yang tercecer
dari pikiran-pikiran interelaktual
… continue reading this entry.

“Memeluk” Agama atau “Dipeluk” Agama

Terkadang saya berpikir dan mempertanyakan sikap keberagamaan sendiri, apakah saya sudah menghayati dan memahami tentang agama saya (islam) atau saya terhayati oleh pemahaman orang lain tentang islam. Atau bagaimana sikap keberagamaan saya apakah secara kreatif-inovatif atau pasif dan stagnatif. dengan kata lain apakah saya telah mampu memberikan warna dalam kehidupanku tentang agama saya sendiri, sehingga saya memiliki persepsi sendiri tentang agama saya sendir atau saya telah diwarnai oleh orang lain tentang pemahamannya tentang agama islam, sehingga saya terpengaruh terhadap pemahamannya yang pada akhirnya saya bersikap taqlid buta terhadap agama islam sendiri-seperti yang dipahami oleh orang lain. kalau seperti inilah sikap beragama saya(taqlid buta) maka saya telah “dipeluk” oleh agama, karena saya tak mampu bebas dalam memberikan warna kehidupan.

saya harus memilih apakah saya “memeluk” agama atau “dipeluk” oleh agama?. oh….tidak saya harus “memeluk” agama untuk itu berikan saya kebebasan dalam memahami agama saya sendiri, saya harus mampu memberikan warna kehidupan pada agama sehingga saya dapat menghayati dan memahami makna beragama. itulah makna hidup saya dalam beragama.

« Older entries